Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa memerlukan partisipasi berbagai pihak. Pemerintahan dengan program dan kebijakannya, masyarakat desa yang proaktif untuk menggerakan roda perekonomian, serta pihak lain yang mendukung terlaksananya upaya tersebut.
Salah satu program yang sering dipilih adalah program pemberdayaan masyarakat. Tujuan pokok kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat Desa. Itu teorinya!. Sudah tak terhitung berbagai implementasi kegiatan pemberdayaan masyarakat. Namun jangan tanya hasilnya. Masyarakat masih saja masyakarat belum sejahtera, belum berdaya yang ada malah terpedaya.
Demi memastikan program pemberdayaan masyarakat desa berlangsung dengan baik, selain dibutuhkan pendampingan juga diperlukan “agen perubahan (local champion)” yakni seseorang yang merupakan bagian dari masyarakat namun mampu menggerakkan dan menginisiasi proses perubahan pada masyarakat.
Untuk menjadi desa yang maju, Desa kodasari yang didominasi oleh lahan pertanian agraris memerlukan terobosan-terobosan pengelolaan lahan pertanian dalam upaya akselerasi peningkatan pendapatan masyarakat. Terobosan-terobosan tersebut diharapkan lahir dari agen-agen perubahan yang diyakini ada di masyarakat Desa Kodasari.
Hidroponik jadi pilihan
Salah satu terobosan pengelolaan lahan pertanian adalah hidroponik. Hidroponik merupakan suatu pengerjaan atau pengelolaan air sebagai media tumbuh tanaman tanpa menggunakan media tanah sebagai media tanam dan mengambil unsur hara mineral yang dibutuhkan dari larutan nutrisi yang dilarutkan dalam air.
Tentu akan muncul pertanyaan “kenapa harus hidroponik? Kan lahan di Desa Kodasari masih luas untuk melakukan aktivitas pertanian”. Mau tidak mau suka atau tidak suka harus kita akui bahwa aktivitas pertanian di Desa Kodasari sudah tidak menguntungkan. Hanya mencapai titik impas saja sudah alhamdulillah. Banyak faktor yang membuat aktivitas pertanian di Kodasari tidak menguntungkan yang jika dianalisis bisa jadi satu skripsi bahkan thesis. Tapi sudahlah tak usah dibahas disini.
Terus kenapa aktivitas pertanian masih terus digeluti kalau tidak menguntungkan?. Jawabannya adalah tidak adanya pilihan sumber pendapatan (pekerjaan) lain. Jika ada pekerjaan lain yang lebih menguntungkan tentu status petani akan ditanggalkan jauh sebelum tulisan ini dibuat.
Momon “Hidroponik” Abdurrohman
“Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya,
berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. (Bung Karno).
Sengaja saya kutip kata-kata mutiara dari pidato Presiden Soekarno yang terkenal itu sebagai pengingat, penambah semangat dan motivasi bagi para pemuda sebagai agen perubahan ke arah yang lebih baik. Hanya pada pemuda lah harapan ini digantungkan dan hanya pada pemuda lah harapan perubahan ini dapat terjadi.
Tanpa menafikan eksistensi pemuda Kodasari lainnya, setidaknya ada 2 orang pemuda yang “terindikasi” bisa menjadi agen perubahan di Desa Kodasari. Satu adalah Maman Surahman dengan usaha travel dan rintisan usaha jamur tiram serta yang kedua adalah Momon Abdurrohman. Nama kedua patut disematkan “hidroponik” ditengahnya, karena dialah penggagas hidroponik pertama di Desa Kodasari. Peace ya om!!
Baginya hidroponik merupakan suatu kata yang “unknown”, sampailah pada pelatihan hidroponik di SMK Maja yang membuat persentuhan dengan dunia hidroponik. “Terima kasih Dinas Pendidikan Kab. Majalengka yang telah menyelenggarakan pelatihan ini!“ Eta terangkanlah.. eta terangkanlah.. ehh terang Momon Abdurrohman.
Selepas pelatihan tersebut dia bertekad untuk memulai mempraktekan ilmu hidroponik yang diperoleh. “Usaha pom mini banyak saingan, usaha teh poci landai-landai saja seiring dengan landainya ritme hajatan, kenapa tidak saya mulai saja usaha hidroponik?” pikirnya, sambil berkata “syangheuk” (tidak mau) pada kawan yang menawari usaha vermak levis.
Bismilah akhirnya dimulailah usaha hidroponik. Pipa-pipa paralon pun mulai dibor sebagai tempat netpot, lekukan knee paralon pun dipasang sambung menyambung. Susunan paralon pun mulai bertebaran di halaman rumah. Bagaimana tanggapan masyarakat lain? Ada yang bertanya-tanya, ada yang heran plus ada yang nyinyir pastinya. The show must go on, “uang yang keluar sudah banyak, pokoknya harus jadi!” pikirnya.
Berbagai sistem hidroponik diaplikasikan, mulai dari sistem rakit bolong (sistem apung) sampai dengan sistem paralon bulet dan paralon kotak dibuatnya sesuai dengan paririmbon hidroponik yang dia pelajari. Langsung berhasilkah dia? Oohh tentu tidak. “Lain hirup arana lamun euweuh tantangan” gerutunya. Kegagalan pertamanya adalah sayuran yang ditanam tumbuhnya tidak optimal. Seilidik punya selidik ditambah dengan beberapa percobaan (trial and error) akhirnya diketahui bahwa penyebab pertumbuhan sayur yang tidak optimal karena pola tanam yang salah serta kandungan air untuk melarutkan nutrisi AB mixed tidak sesuai dengan nutrisi yang diharapkan untuk pertumbuhan sayuran. Untuk mengatasi hal tersebut maka disesuaikanlah pola tanam sayuran dan dengan sangat terpaksa air untuk melarutkan nutrisi menggunakan air galon isi ulang. Agak mahal memang, membeli air galon isi ulang lebih costly dibandingkan dengan menimba dari sumur.
Tanaman pakcoy, salad, romain, bayam merah, kangkung dan jenis sayur-sayuran lain mulai ditanam dan menunjukkan hasil. Didampingi sang istri setiap pagi Momon merawat sayuran dan mengecek nutrisi yang diperlukan oleh tanaman. Hasil panen sayurannya digunakan untuk konsumsi pribadi, dibagikan ke tetangga sekitar dan tentunya dijual. Lewat pertemanan di Komunitas Hidroponik Majalengka (Kohima) dan Wiraponik Indramayu, selain sebagai ajang berbagi pengetahuan juga bisa membantu pemasaran, karena penyuka sayuran organik hanya kalangan tertentu (segmented market) dan masih belum membudaya di masyarakat umum. Untuk lebih menjamin kepastian pasar sedang dijalin juga kerjasama dengan supermarket yang dituangkan dalam nota kesepahaman (MoU).
Hidroponik dengan NFT system
Untuk mencukupi kebutuhan yang diperkirakan semakin hari semakin meningkat, Momon sedang mencoba Hidroponik dengan NFT system (Nutrient film technique), yaitu tanaman (sayuran) tumbuh dengan nutrisi yang dialirkan setipis film (layer). Dengan sistem ini diharapkan mampu menhasilkan sayuran organik dengan kualitas dan kuantitas yang memadai. Namun untuk menerapkan sistem ini memerlukan investasi yang tidak sedikit.
Rata-rata panen dilakukan kurang lebih 2 minggu sekali. Sekali panen bisa diperoleh 100-200 ikat sayuran. Sayur-sayuran tersebut dijual bervariasi dengan kisaran harga Rp. 3.000 – Rp. 5.000,-/ikat. ”Dari usaha bertanam sayuran hidroponik ini diperoleh penghasilan sekitar Rp.300.000-Rp.1.000.000,- Per 2 minggu, itupun kalau tidak tidak terserang hama busuk akar” terangnya. Penghasilan tersebut merupakan angka yang lumayan untuk seorang wirausahawan pemula di kampung pula.
Harapannya usaha hidroponik ini bisa ditiru, diduplikasi dan dimodifikasi oleh masyarakat desa Kodasari, dengan memanfaatkan “The Power of Gehgeran” itu loh budaya meniru jika orang lain terlihat sukses. Jika masyarakat sudah memperoleh hasilnya bertanam dengan pola hidroponik akan menjadi masif dan menjadi sumber pendapatan unggulan Desa Kodasari. Dan bukan hal yang mustahil Kodasari akan menjadi Desa Hidroponik. Bisa Jadi. (BM)
Leave a Reply